Selama sebulan terakhir ini, tidak ada habis-habisnya kita melihat media baik internasional maupun nasional memberitakan tentang eskalasi militer zionis Israel di wilayah sekitar Yerussalem. Polemik kompleks yang terjadi antara bangsa Palestina dan Israel hampir bisa dikatakan abadi ini; tidak hanya membawa ranah militer, memantik juga ranah teologi.
Seraya mengkritisi bagaimana kebuntuan dari penyelengaraan politik di internal Palestina sendiri dan abstainnya beberapa negara timur tengah yang notabene mempunyai kesamaan latar belakang teologis, muncul senandung lagu lama yang kembali dinyanyikan mengenai kegamangan perihal Islam dan politik (negara) yang terus menghiasi internal umat islam di seluruh penjuru dunia selama hampir beberapa dekade.
Baca Juga : Radicalism in Indonesia Is Not a Joke!
Titik kulminasinya berada saat runtuhnya kekhilafahan Turki Utsmani yang selama berabad-abad meneruskan representasi sistem pemerintahan islam dari kekhilafahan sebelumnya. Tak pelak lagu itu menggema lebih keras di khalayak umum.
Fenomena ini diperkuat dengan sebuah realitas bahwa keterkaitan hal tersebut dalam agama-agama samawi lainnya dianggap relatif tidak ada masalah, cenderung selesai, setidaknya secara teoritis oleh para pemeluknya. Di dalam agama kristiani baik Protestan maupun Katolik, lokus antara agama dengan negara (politik) sudah menjadi hal yang jelas. Negara adalah public sphere, ruang interaksi yang umum bersifat relasi horisontal dan natural sedangkan agama adalah domestic sphere, sebagaimana diposisikan sebagai urusan perindividu manusia dengan Tuhannya yang bersifat vertikal dan transendental.
Upaya pemisahan kedua ranah tersebut, domestic and public sphere dipandang oleh sebagian umat islam sebagai deviasi terhadap kesempurnaan dan keparipurnaan ajaran islam dengan yang telah mengatur kedua ranah tersebut; baik domestic sphere (aqidah-syariah) dan public sphere (muamalah-insaniah).
Politisasi dan Islamisasi
Menurut kamus Besar Bahasa Indonesia, politisasi berarti membuat keadaan (perbuatan, gagasan, dan sebagainya) bersifat politis. Dari pengertian ini dapat ditarik sebuah arti, dimana politisasi diartikan sebagai sebuah perbuatan baik berupa gagasan, ide, dan lain sebagainya menjadi bersifat politik. Jika politisasi dikaitkan dengan islam, maka, pengertian politisasi islam menjadi: suatu perbuatan baik perbuatan itu berupa gagasan, ide, pemahaman dan lain sebagainya yang berkenaan tentang keislaman menjadi bersifat politik, bukan bersifat keislaman lagi. Dengan begitu kita dapat memahami bahwa dalam politisasi islam terdapat instrumentalisasi dogma islam untuk kepentingan politik tertentu. Politisasi islam memandang agama memiliki daya fungsional strategis terhadap realitas politik yang ada.
Islamisasi dapat dimengerti atau diartikan sebagai proses mengajak atau pengislaman terhadap hal-hal yang menyangkut aspek kehidupan manusia yang ada, termasuk salah satu contohnya yaitu ialah ilmu pengetahuan atau bahasa mudahnya adalah mengajak umat kepercayaan lain untuk memeluk atau mengikuti agama islam pengetahuan agama islam. Menurut Al Faruqi, seorang cendekiawan muslim kontemporer, Islamisasi adalah proses menuangkan kembali pengetahuan sebagaimana yang dikehendaki oleh agama Islam, yaitu dengan cara memberikan definisi atau arti baru, mengevaluasi dan memproyeksikan kembali tujuan-tujuan agama Islam. Demikian kita dapat memahami jika islamisasi dikaitkan dengan politik, maka, pengertian islamisasi politik menjadi: segala hal yang berkenaan dengan politik, baik substansi maupun tidak terkonversi menjadi sesuatu yang berinduk pada dogma islam.
Jalan Panjang Diskursus
Sejauh ini diskursus tentang Politisasi Islam atau Islamisasi Politik masih terus berjalan hingga saat ini. Disini ada baiknya kita mengutip pemikiran Hassan Banna, seorang tokoh pergerakan Muslim sebagai berikut:
”Islam adalah iman dan ritual, negara (wathan) dan kebangsaan, agama dan negara, spiritualitas dan amal, Al-Qur’an dan pedang”.
Jika demikian, mengapa pemikiran prominen yang muncul sesaat pasca runtuhnya kekhlifahan Turki Utsmani itu tidak teraplikasikan di kalangan umat islam di hari ini? Bahkan beberapa kelompok cenderung menegasikan pemikiran tersebut. Dan mengapa formula nation-state lebih banyak dipakai oleh umat islam ketimbang khilafah yang pernah ada sebelumnya, atau adakah kecacatan dalam formula khilafah tersebut, terutama dalam menghadapi era modern ini?
Apa yang penulis tuangkan tidak mengandung sebuah ambisi untuk menganulir salah satu varian pandangan atau memberikan solusi win-to-win dari pandangan- pandangan yang berbeda itu, akan tetapi penulis sekadar membahas varian pandangan terkait relevansi islam dan politik (negara) dengan merujuk pada pandangan tokoh-tokoh islam yang memiliki reputasi internasional maupun nasional.
Secara esensial, Islam yang direpresentasikan oleh Nabi Muhammad merupakan kausa dari deviasi yang terjadi terhadap ajaran Tauhid yang telah ditegakkan sejak manusia pertama yaitu Nabi Adam. Islam mengawali alur diseminasi ajarannya dalam scope masyarakat yang kecil, yaitu suku Quraisy. Suku Quraisy merupakan keturunan Ismail bin Ibrahim yang paling baik, dan anak keturununnya yang paling jelas, hal ini diungkapkan oleh Ibnu Ishaq dalam buku Sirah Nabawiyyah Ibnu Hisyam.
Tiga Kelompok Pandangan
Lebih komprehensifnya, kita akan menelaah bagaimana Munawir Sjadzali melihat adanya 3 aliran yang memperdebatkan mengenai relevansi islam dan politik (negara). Pertama, Islam adalah agama paripurna yang mengatur segala aspek kehidupan manusia, termasuk sistem politik atau ketatanegaraan. Pandangan ini sangat bertolak belakang dengan interpretasi barat mengenai agama (sekularisme). Mereka menghendaki agar umat islam kembali kepada sistem politik atau ketatanegaraan yang islami, dan tidak anjurkan bahkan tidak diperbolehkan meniru sistem yang dikonstruksi oleh barat. Kelompok ini meyakini bahwa Islam adalah sebuah totalitas-integratif dari “tiga d”: din (agama), daulah (negara), dan dunya (dunia). Konsekuensinya, seperti dikemukakan oleh Nazih Ayubi, semua aspek kehidupan, mulai dari soal remeh masalah domestik hingga menjangkau semua permasalahan ekonomi, sosial, politik, dan sebagainya merujuk kepada dogma islam. Disini kita akan mendapati nama-nama seperti Hasan Banna, Sayyid Quthb, Rasyid Ridha dan Abu A’la Maududi.
Kedua, Islam adalah agama dalam interpretasi barat, yakni ketiadaan relevansi dengan urusan politik atau kenegaraan. Meraka berpendapat bahwa Risalah Nubuwwah yang dibawa oleh Nabi Muhammad tidak dimaksudkan untuk mendirikan dan mengepalai sebuah negara, melainkan untuk merestorasi budi pekerti. Meminjam ungkapan pemikir Mesir Husain Fawzi al-Najjar, concern utama Nabi Muhammad ketika menyebarkan Islam adalah lebih tertuju pada upaya untuk mempersatukan para pemeluk Islam daripada membangun sebuah negara atau sistem pemerintahan. Bisa dikatakan kelompok ini menerapkan nilai-nilai sekularisme dalam mengkaji relevansi islam dan politik (negara). Tersebut nama-nama seperti Thaha Husein dan Ali Abdul Raziq.
Ketiga, jika kita melihat dua pandangan sebelumnya maka dengan mudah kita mengatakan bahwa posisi kedua aliran tersebut berhadapan secara diametral atau hitam-putih. Dengan mudah sebuah pertanyaan muncul ke permukaan, apakah ada “jalan tengah” diantara keduanya? Pandangan ketiga ini melihat bahwa islam tidak dapat diinterpretasikan sebagaimana interpretasi barat, tetapi tidak juga meyakini lengkap; termasuk mengatur sistem politik atau ketatanegaraan. Mereka memahami bahwa Islam mempunyai tata nilai etika bagi kehidupan bernegara, tetapi tidak mempunyai sistem ketatanegaraan. Salah satu tokoh yang menonjol dalam aliran ini adalah Husain Haykal.
Ini artinya, di satu sisi, kita secara umum meyakini hanya ada satu Islam, tapi di sisi yang lain, bentuk dan ekspresinya beragam, atau implikasi maupun pelaksanaanya berbeda dari satu individu muslim ke muslim lainnya.
Penutup
Lantas, apa yang bisa kita simak dan pelajari disini sebagai generasi penerus umat islam? Tentu sangat banyak, dan memungkinkan untuk dieksplorasi lebih dalam, meski sudah pasti ini di luar kapasitas dari tulisan singkat ini. Namun ada satu hal yang penting untuk di simak di sini adalah, sekalipun keyakinan Islam adalah tunggal adanya, tapi di dalamnya, Islam adalah agama atau ajaran yang multitafsir, dan ini sangat membuka kemungkinan lahirnya banyak penafsiran mengenainya. Ini artinya, di satu sisi, kita secara umum meyakini hanya ada satu Islam, tapi di sisi yang lain, bentuk dan ekspresinya beragam, atau implikasi maupun pelaksanaanya berbeda dari satu individu Muslim ke Muslim lainnya. Sampai di sini, baiknya kita tutup dengan pemahaman bahwa pandangan mana yang lebih absah secara teologis maupun kontekstual dilaksanakan dalam perkembangan dunia Islam saat ini, membutuhkan pendalaman yang lebih esensial dan komprehensif, tentunya itu semua di luar kapasitas penulis.
Penulis : Tata Auniy
2 comments
Very nice write-up. I definitely appreciate this site. Thanks!
maaf mau nanya bg. ungkapan Husain Ffawzi an-Najjar itu referensinya dari mana yah?