Dalam sejarah bangsa Indonesia sendiri isu separatisme telah ada sejak awal kemerdekaan Indonesia dan banyak diantaranya masih eksis mewarnai dinamika persoalan utama isu separatisme di Indonesia meskipun tanpa ada perlawanan yang berarti seperti pada masa awal kemunculannya. Seperti diantaranya Gerakan Aceh Merdeka (GAM), Republik Maluku Selatan (RMS), dan Organisasi Papua Merdeka (OPM).
Papua memang selalu menarik untuk dibahas, mengingat Papua merupakan bagian dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, namun disisi lain mengalami upaya separatisme yang berkepanjangan hingga bisa kita lihat sisa-sisanya hingga hari ini. Upaya separatisme yang tercatat sebagai noda hitam dalam sejarah integritas Indonesia, tentunya kita bisa melihat Organisasi Papua Merdeka (OPM) sebagai salah satu dari sekian banyak aktor yang menciderai cita-cita para pendiri bangsa.
Jika kita menilik ke sejarah, maka barang tentu kita akan menemukan betapa sulitnya para pendahulu kita melepaskan sekaligus mempertahankan pulau Papua dari cengkraman para Imperialis-Kolonialis. Namun sangat disayangkan, perjuangan para pendahulu kita hanya dihargai dengan sebuah kata “separatisme” oleh oknum-oknum yang mempunyai kepentingan akan teritori pulau Papua.
Isu separatisme ini sudah seharusnya menjadi domain internal antara pemerintah Indonesia dengan para separatis tersebut, namun apadaya banyak negara yang tergiur dengan kekayaan pulau ini, salah satunya adalah Vanuatu yang lantang mengaspirasikan isu separatisme ini di forum internasional, sehingga memasukkan berbagai macam kepentingan-kepentingan didalam isu tersebut. Tentunya, tidak lain dan tidak bukan kepentingan tersebut beorientasi kepada keuntungan-keuntungan yang selama ini mereka targetkan.
Baca Juga : Apakah BTS Menjadi Diplomat?
Papua adalah Indonesia
Papua merupakan pulau paling timur dalam teritori Negara Kesatuan Republik Indonesia yang besarnya 3 kali lipat dari pulau Jawa. Meskipun begitu total populasi di Papua itu sendiri hanya mencapai 1% dari total seluruh penduduk Indonesia.Secara geografis pulau Papua berbatasan dengan; Laut Halmahera dan Samudra Pasifik di utara, Laut Arafura dan Australia di selatan, Papua New Guinea di sebelah timur, dan Laut Arafura, Laut banda dan Maluku di sebelah barat
Terdapat lebih dari 250 etnis dengan kebudayan dan norma-norma adat masing-masing. Belum lagi terkalkulasikannya 100 lebih etnis non-papua yang ada di pulau tersebut. Maka melalui pendekatan antropologi, terdapat 7 zona kebudayaan di seluruh pulau Papua; Pertama, Saireri. Kedua, Me-Pago. Ketiga, Bomberai. Keempat, Ha-Anim. Kelima, Tabi. Keenam Lano-Pago. Ketujuh, Doberai.
Papua di Masa Kolonialisme Belanda
Sejarah mencatat bagaimana Pemerintah Kolonialisme Belanda sangat berambisi untuk menguasi pulau Papua secara holistik. Hal ini diafirmasi dengan taktik diplomasi Pemerintah Kolonialisme Belanda di tahun 1949-1962 yang mengulur waktu serta mengangkat isu self-determination (hak menentukan nasib sendiri) dan perbedaan rasial antara Indonesia dengan Papua.
Di lain sisi Pemerintah Kolonialisme Belanda juga sangat membutuhkan wilayah untuk menjadi tempat penampungan bagi sebagian penduduknya. Mengingat terdapatnya persoalan dengan lahan untuk tempat tinggal di internal Pemerintah Kolonialisme Belanda itu sendiri.
Variabel-variabel seperti tendensi Pemerintah Kolonialisme Belanda di Konferensi Meja Bundar, pengubahan nama Papua menjadi The Netherlands New Guinea, serta imigrasi besar-besaran penduduk asal Belanda ke pulau Papua, bisa kita klasifikasikan sebagai upaya Pemerintah Kolonialisme Belanda untuk tetap merebut Papua dari tangan yang berhak yaitu Indonesia.
Namun ambisi Pemerintah Kolonialisme Belanda gagal sepenuhnya karena Dunia Internasional telah menyepakati secara sah bahwa Papua merupakan wilayah kedaulatan Indonesia. The New York Agreement di tahun 1962 serta Act of Free Choice di tahun 1969 menjadi evidensi absah bagaimana dunia internasional mengakui kedaulatan Indonesia di pulau Papua.
Papua Pasca Kolonialisme Belanda
Sejarah panjang nan terjal akan kembalinya Papua ke dalam pelukan ibu pertiwi ini, tidak mempengaruhi beberapa oknum yang tetap merasa bahwa Papua bukan bagian daripada Indonesia dan menginginkan kemerdekaan akan Papua.
Banyak oknum aktivis pergerakan yang menuntut dan memperjuangkan akan kemerdekaan Papua dari Negara Kesatuan Republik Indonesia dan keinginan untuk menganulir hasil plebisit Act of Free yang dilakukan PBB pada tahun 1969.
Dari berbagai macam persoalan didalam sebuah negara, separatisme menjadi salah satu persoalan ancaman internal yang paling serius bagi pemerintah Indonesia. Sebab hal itu menyangkut masalah kedaulatan wilayah Indonesia. Dimulai dari Pemisahan diri dari Negara yang berdaulat (Secession), pembetukan wilayah sendiri (fragmentation), pendirian pemerintah yang otonom (Autonomy), hingga penentuan nasib sendiri (Self Determination) adalah beberapa konsep-konsep yang menjadi cakupan daripada separatisme.
Indonesia dan Separatisme Papua
Isu separatisme Papua memang memiliki sejarah konflik yang begitu rumit. Dan telah menjadi salah satu isu yang mendapat perhatian khusus dari pemerintah Indonesia. Dimulai sejak awal kemerdekaan Indonesia tahun 1945, perebutan atas wilayah kedaulatan Indonesia yang baru saja merdeka dengan pihak Pemerintah Kolonialisme Belanda dimana pihak pemerintah Indonesia menginginkan wilayah territorial Papua menjadi bagian daripada wilayah Indonesia, sedangkan pihak Belanda merasa masih memiliki kekuasaan di teritori tersebut dan menganggap Papua memiliki wilayah kesatuan politik yang berbeda dengan wilayah Indonesia lainnya. Selanjutnya aksi-aksi separatisme diimplementasikan oleh para oknum di Papua sebagai bentuk glorifikasi terhadap kekecewaan sebagian kecil masyarakat Papua terhadap keputusan PBB dalam New York Agreement di 1962, dimana menjadikan Papua merupakan bagian dari pada Indonesia.
Setelah melalui perdebatan yang cukup kompleks akhirnya pada tahun 1962, PBB mengambil alih sementara kekuasaan atas Papua melalui New York Agreement, yang dikemudian hari PBB menyerahkan kembali kepada pemerintah Indonesia pada 1 Mei 1963. Namun kelompok separatis menilai bahwa New York Agreement dan Act of Free Cacat Hukum dan melanggar Hak Asasi Rakyat Papua karna tak dilakukan dengan prosedur yang berlaku, One Man One Vote melainkan melalui sistem perwakilan.
Di masa selanjutnya terbentuklah Organisasi Papua Merdeka (OPM) atau Free Papua Movement pada tahun 1965 yang merupakan organisasi perlawanan terhadap pemerintah Indonesia dimana bertujuan untuk mengakhiri kekuasaan Indonesia terhadap Papua dan menjadikan Papua Negara Merdeka.
Dalam perkembangannya, OPM banyak melakukan protes-protes serta upaya dalam pemerdekaan dengan metode gerilya dimana mereka hanya mengunakan senjata tradisional. Namun mereka akhirnya membentuk Tentara Pembebasan–Nasional Papua Barat (TPN-BP), terdiri dari para pasukan semi-militer dilengkapi dengan persenjataan modern yang diduga kuat hasil penyelundupan di perbatasan antara Papua dan Papua Nugini.
Separatisme Papua Kini
Di masa kini, kelompok separatis Papua terus bergerak secara sporadis dan tidak terkoordinasi, warisan perpecahan yang dibawa oleh Seth Jafeth Roemkorem (RPG) dan Jacob Hendrik Prai (PMK). Namun, kedua tokoh besar tersebut memberikan sebuah pernyataan bahwa “Kita (Papua) harus menghormati Indonesia, dan harus mengibarkan bendera merah putih ketimbang bendera itu (bintang kejora)”.
Intensitas dan kompleksitas penyulutan konflik oleh OPM kepada aparat militer makin kerap terjadi. Sepanjang tahun 2018 hingga April 2021 setidaknya terdapat 104 orang yang terhitung menjadi korban jiwa, terdapat warga sipil, Polisi, Tentara. Puncaknya adalah gugurnya Kepala Badan Intelijen Negara Daerah Papua Brigjen TNI Gusti Putu Danny Nugraha pada April 2021.
Upaya internasionalisasi isu separatisme Papua semakin menguat dengan pembentukan United Liberation Movement For West Papua (ULMWP) dideklarasikan pada 7 Desember 2014 di Port Villa, Republik Vanuatu yang ditujukan untuk menyatukan faksi-faksi perjuangan OPM bersenjata dan kelompok politik. Tugas utama yang diusung adalah manuver dalam upaya internasionalisasi isu separatisme yang semakin kentara ketika mengampanyekan Papua Merdeka (Free West Papua Campaign), bahkan OPM juga berusaha memperluas jaringannya dengan dibukannya kantor perwakilan dan konsulat dibeberapa Negara. Kehadiran ULMWP dimaksudkan untuk mencari dukungan dari masyarakat Internasional, terutama dikawasan Pasifik Selatan. Tidak hanya itu, mereka bahkan memanfaatkan perkembangan teknologi dan informasi untuk menyebarkan aksi-aksi mereka secara online untuk membatu menyuarakan aspirasi mereka dalam ranah global melalui pembentukan beberapa situs website dan Blog Oline seperti www.melanesianews.org/pdp. www.converge.org.nz/wpapua. www.koteka.net untuk menunjukkan eksistensi mereka.
Persoalan isu separatisme Papua kemudian tidak hanya sebatas pada domain internal antara pemerintah Indonesia dan para separatis. Namun seiring berjalannya waktu, isu tersebut kini telah berkembang menjadi isu Internasional. Tentunya ini tidak terlepas daripada peran ULMWP dan Negara- Negara kawasan Pasifik Selatan yang mana secara implisit maupun eksplisit telah memfasilitasi dan membantu proses internasionalisasi isu papua.
Upaya separatisme Papua pun telah mengalami transformasi yang berubah menjadi sebuah protes damai dan kampanye akan kemerdekaan Papua melalui forum-forum Internasional. Hal yang sempat ditingkatkan oleh mantan pemimpim OPM Benny Wenda dalam membentuk Free West Papua Campaign dan telah berhasil menarik banyak perhatian masyarakat Internasional. Hal ini lah yang telah menjadi gaya baru aktivitas upaya separatisme, disamping itu kepentingan asing pun ikut andil dalam persoalan separatisme, dimana banyak negara asing memiliki kepentingan finansial yang tentunya tidak dapat dinegasikan ditanah Papua.
Dengan penitikberatan dalam isu tipikal seperti Hak Asasi Manusia dan demokrasi, kampanye mereka berhasil membuka kantor perwakilan di beberapa Negara. Papua Nugini (Port Moresby), Australia (Perth), Belanda (The Hague), Inggris (Oxford) serta Vanuatu (Port Vila) yang secara khusus telah menjadi lokasi kantor perwakilan dan konsulat ULMWP. Meskipun kampanye internasionalisasi kemerdekaan Papua dilakukan hingga seluruh kawasan, pusat pergerakan dan konsolidasinya dititik beratkan dikawasan Pasifik Selatan yang berdampak akan ditunjukkannya sikap pro oleh beberapa kawasan Pasifik Selatan terhadap upaya kemerdekaan Papua. Dan tentu saja ini menjadi tantangan tersendiri bagi kedaulatan dan keamanan nasional Republik Indonesia.
Papua, Vanuatu dan Indonesia
Vanuatu sebagai entitas Negara, secara resmi dan menjadi Negara yang sangat vokal terhadap gerakan separatisme Papua Merdeka. Dengan berdalilkan persamaan ras (Melenesian Brotherhood), dimana Vanuatu memfasilitasi terbentuknya ULMWP dan menggalang dukungan dari Negara kawasan Pasifik Selatan terkait kampanye atas politik Papua Merdeka dengan memanfaatkan organisasi sub-Regional dikawasan Pasifik. Seperti Melanesian Spreadhead Group (MSG).
PM Vanuatu Moana Kalosil Carcasses telah mengecam kebijakan Indonesia yang dinilainya sebagai bentuk daripada Kolonialisme dan Neo-Imperialisme di Papua, dan telah meminta PBB untuk menunjuk langsung utusan khusus untuk menyelidiki isu pelanggaran HAM di papua barat pada sidang Majelis Umum PBB di New York pada September 2013. Kecaman dan tudingan yang serupa kembali dijalankan dalam sidang Dewan HAM di Jenewa pada Maret 2014. Vanuta bahkan meminta agar Dewan HAM PBB, LSM bahkan Jurnalis internasional untuk diberikan akses berkunjung ke Papua.
Kepentingan Vanuatu secara Antropologis didasarkan pada hubungan etnis yang cukup dekat (Melanesian Connection). Kedekatan etnis inilah yang telah menjadikan salah satu sumber penyebab akan masifnya dukungan Vanuatu terhadapa upaya kemerdekaan Papua. Vanuatu memiliki kepentingan tersendiri untuk menjadikannya pemimpin regional dengan mengusung paham Identitas Melanesian Renaissance. Dimana paham ini mengangkat isu dekolonisasi bagi bangsa Melanesia yang belom merdeka sebagai bahan utama dalam menarik simpati dunia internasional. Mekanisme politik domestik Vanuatu bergerak dalam persinggungan prinsip Sosialisme Melanesia yang merupakan bentuk gabungan prinsip Komunalisme, saling berbagi serta kepedulian sesama. Kemudian membuat nilai-nilai paham Sosialisme Melanesia mencerminkan perubahan-perubahan Revolusioner yang radikal diberbagai bidang sosial, ekonomi serta struktur politik secara cepat (Temaluru 2016).
Di banyak peristiwa, Vanuatu telah menunjukkan sikap yang berseberangan dengan Indonesia dalam isu separatisme Papua, ataranya dalam sidang tahunan ke-68 Majelis Umum PBB paa 23 September 2013 di New York , Amerika Serikat. Vanuatu menyatakan bahwa Indonesia bertanggung Jawab terhadap ratusan ribu orang Papua yg disiksa dan dibunuh (Dorney 2013). Selanjutnya, pada 4 Maret 2014 dalam sidang Dewan HAM PBB ke -25 diJenewa, Swiss. Vanuatu meminta PBB untuk mengirim utusan terkait penyelidikan HAM atas dugaan pelanggaran HAM di Papua (ABC News 2014). Dan lagi, 27 September 2016 dalam sidang Majelis Umum PBB ke-71 di New York, Amerika Serikat. Vanuatu menyampaikan keprihatinan atas pelanggaran berat atas HAM yang terjadi di Papua dan menyerukan akan pembebasan West Papua untuk (Self Determination) menentukan nasib sendiri (Rappler 2017).
Pada 3 Maret 2017, dalam sidang Dewan HAM PBB ke-34 di Jenewa, Swiss. Vanuatu membacakan pidato atas nama 7 negara kepulauan kawasan Pasifik yang berisikan akan desakan ke PBB untuk segera melakukan penyelidikan atas dugaan terhadap pelangaran HAM yang dilakukan Indonesia di Papua (Rahman 2017). Pada September 2019 Perdana Menteri Vanuatu, Charlot Salwai Tabimasmas menyebutkan ada dugaan pelanggaran HAM di Papua dalam pidatonya di sidang Majelis Umum PBB ke -74 dimana Tabimas mendesak PBB untuk mencari solusi dan mendatangi Papua guna melihat pelanggaran HAM yang terjadi di Papua. Dan pada 26 September 2020, perdana menteri Vanuatu, Bob Lughman dalam pidatonya lagi-lagi menyinggung persoalan hak asasi manusia di Papua. Selanjutnya pada September 2021, perdana menteri Vanuatu, Bob Lughman kembali mengungkit persoalan yang sama, bahkan meminta langsung kepada Majelis Umum PBB untuk mengunjungi Papua guna melakukan penilaian secara independen.
Kepentingan Busuk Dibalik Papua Indonesia
Isu separatisme juga telah dijadikan komoditas oleh elit-elit politik (Non-State Actor) di Vanuatu. Dimana isu ini digunakan untuk menyerang lawan politik. Isu memungkin karena telah mendapat banyak perhatian masyarakat Vanuatu. Salah satu mantan Perdana Menteri Vanuatu, Sato kilman mendapatkan mosi tidak percaya dari parlemen Vanuatu 2013, karna dianggap terlalu dekat dengan Indonesia.
Isu separatism Papua dan upaya internasionalisasi atas isu tersebut yang dilakukan melalui jaringan Network dan Media Online telah menjadi tantangan tersendiri bagi kedaulatan Indonesia, dimana ancaman yang diberikan bukanlah ancaman militer seperti halnya konflik bersenjata, akan tetapi hal ini dapat menganggu stabilitas dan kedaulatan negara Indonesia.
Perubahan dinamika isu separatisme Papua dan upaya Internasionalisasi atas isu tersebut memperlihatkan kecendrungan akan meningkatnya aktivitas upaya separatis Papua di ranah Internasional dalam beberapa tahun terakhir. Mereka berupaya memanfaatkan setiap kesempatan yang tercipta untuk selalu memperjuangkan aspirasi dan kepentingannya dalam ranah internasional untuk mendapatkan dukungan politik dari masyarakat internasional. Belum juga disebabkan belum berhasilnya strategi Soft Power Indonesia terhadap isu separatisme Papua yang dijalankan Indonesia, baik pada dimensi manajemen berita, komunikasi strategis dan pembangunan hubungan.
Solusi Problematika
Oleh karena itu, untuk membendung dan meredam kampanye isu separatisme Papua dan upaya Internasionalisasi atas isu tersebut yang dilancarkan, perlunya penanganan yang lebih serius terhadap isu separatisme dengan pendekatan kesejahteraan dan praktek Good Governance harus dilanjutkan dengan secara komprehensif, sedangkan pendekatan secara keamanan harus dilakukan seminimal mungkin, dan kalaupun itu terpaksa untuk dilakukan, maka hanya untuk ditunjukkan sebagai tindakan defensif kepada kelompok separatis yang memang melakukan aksi-aksi bersenjata dan membahayakan aparat dan masyarakat sipil.
Dalam hal ini, pemerintah Indonesia tidak dapat hanya mengandalkan kekuatan aparat keamanan saja, melainkan juga membutuhkan strategi melalui Soft Power dan Diplomacy kepada masyarakat internasional atas upaya internasionalisasi isu separatisme Papua yang mana nampaknya oleh pemerintah Indonesia sudah diimplementasikan dengan baik dan harap terus berlanjut kedepannya.
Penulis : Moh. Effendy dan Tata Auniy
1 comment
Very nice write-up. I definitely appreciate this site. Thanks!